Subandono
(2009), Dengan kenyataan bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat
luas dengan jumlah pulau-pulau kecil yang cukup besar, maka Indonesia termasuk
negara yang memiliki kerentanan yang sangat tinggi terhadap perubahan iklim.
Oleh karena itu, kemampuan untuk memperkirakan dampak perubahan iklim serta
upaya - upaya mitigasi dan adaptasinya perlu
dimiliki oleh Indonesia. Kemampuan ini menjadi suatu keharusan mengingat
besarnya peranan laut dalam mengantisipasi perubahan iklim.
Perubahan
iklim yang terjadi saat ini sangat memberi dampak pada kawasan pesisir dan
laut, dimana pada kawasan tersebut terdapat ekosistem yang kompleks seperti
hutan mangrove, batu karang dan rawa payau. Pada berbagai ekosistem tersebut,
pemanasan global mempengaruhi sifat-sifat fisik, biologi dan biokimia laut dan
pesisir sehingga merubah struktur ekologis, fungsi dan penyediaan barang serta
jasa yang diberikan oleh laut dan pesisir. Terjadinya pemanasan global dan
perubahan iklim menimbulkan berbagai kejadian ekstrim yang berdampak pada laut
dalam skala luas (Wardana 2010). Pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap
perubahan iklim dikarenakan kapasitas adaptasi masyarakat relatif lebih lemah
akibat keterbatasan sarana prasarana pendukung, tingkat pendidikan serta jauh
dari jangkauan layanan administrasi dan sosial. Dengan demikian, kerentanannya
menjadi lebih tinggi (Subandono 2007).
Sulawesi
Selatan merupakan salah satu daerah paling rentan terhadap dampak perubahan
iklim . Prediksi menunjukkan bahwa wilayah tersebut akan menghadapi penurunan
curah hujan antara bulan Juli dan September, dan meningkatkan curah hujan
antara Desember dan Mei (Suroso et al . , 2009). Dengan kata lain, iklim akan
menjadi lebih ekstrim : musim kemarau akan lebih kering , dan basah musim hujan
. Perubahan Iklim Sektoral Roadmap untuk Iklim Sektoral Roadmap untuk Indonesia
telah didefinisikan Sulawesi Selatan sebagai daerah berada di bawah risiko
tinggi kekurangan air ( Suroso et al . , 2009).
Ini
termasuk Kepulauan Spermonde yang terletak di lepas pantai Makassar, salah satu
kepulauan karang terbesar di Indonesia . Meskipun Putih et al. (2007)
berpendapat bahwa masyarakat pada karang atol menghadapi beberapa masalah air
yang paling penting dalam dunia, kesadaran ilmiah dan politik masalah ini
Indonesia sangat terbatas. Sebagai contoh, roadmap iklim mengubah adaptasi
dalam fokus sektor kelautan dan perikanan terutama pada mengikis dan tenggelam
pulaupulau kecil strategis penting bagi perbatasan Indonesia ( Suroso et al . ,
2009)
Kedua,
proyeksi kenaikan paras muka air laut akan meningkatkan erosi pulau-pulau
kecil, kehilangan lahan produktif yang relatif terbatas, meningkatkan resiko
badai, dan intruksi air laut yang akan mengganggu suplai air bersih di laut.
Fenomena tersebut mengakibatkan banyak sektor yang rentan terhadap dampak perubahan
iklim. Sumber daya air tanah atau air tawar semakin berkurang. Dalam perdebatan
ilmiah dan politik pada kelangkaan air, pulaupulau kecil sangat kurang menerima
perhatian. Sebagian besar pulaupulau kecil kekurangan air tawar (Falkland, 1991
; Putih dan Falkland , 2009).
Untuk
pasokan air tawar , mereka bergantung pada air tanah dan air hujan . Air tanah
muncul sebagai lensa tipis air tawar mengambang di atas air laut di pasir
karang dan kapur akuifer (Putih et al . , 2005), pulaupulau di atas ukuran dari
sekitar 1,5 ha (Wiens , 1962) . Penggunaan terus menerus dan peningkatan
penggunaan permukaan tanah serta perubahan vegetasi alami merupakan menyebabkan
kelangkaan air yang serius di banyak pulau-pulau kecil , terutama di Indo –
Pasifik (Locke 2009). Selain itu, kontaminasi feses dari air tanah merupakan
sumber utama gastroenteritis dan menyebabkan kematian bayi tinggi dan wabah
penyakit seperti hepatitis, tifus dan kolera (Putih et al . 2007). Mengingat
meningkatnya kebutuhan tumbuh populasi dan dampak prediksi perubahan iklim,
kelangkaan air dan efeknya diharapkan dapat menjadi salah satu masalah yang
paling mendesak bagi penduduk pulau-pulau kecil.
Menurut
Subandono (2009) ada empat indikator terjadinya perubahan iklim terutama di
wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pertama perubahan atmosfer dan suhu air
laut. Semakin tinggi emisi gas rumah kaca ke atmosfer telah mengubah
konsentrasi gas di atmosfer. Dampaknya, atmosfer bumi pun mengalami perubahan.
Suhu udara semakin tinggi karena tidak terjadi proses pendinginan, begitu juga
dengan suhu air laut. Di lintang rendah, kenaikan suhu udara memicu suhu air
laut meningkat. Kedua perubahan pola angin. Fakta menunjukkan, frekuensi dan
intensitas angin besar (badai) di belahan bumi berlintang tinggi semakin
meningkat.
Ketiga,perubahan
presipitasi dan pola hidrologi. Yang termasuk presipitasi adalah hujan salju di
lintang tinggi dan curah hujan di lintang rendah. Keempat, terjadi kenaikan
permukaan air laut. Besar kecilnya kenaikan itu bervariasi, tergantung banyak
hal seperti letak lintang dan bujur dari kawasan pantai. Dua indikator yang
disebutkan terakhir mengakibatkan perubahan fisik lingkungan. Akibat kenaikan
paras muka air laut misalnya, menimbulkan genangan di lahan rendah dan rawa di
daerah pesisir dan pulau-pulau kecil. (Subandono 2009) di samping itu, erosi
pantai juga meningkat.
Ketika
pola angin berubah ditambah dengan adanya kenaikan paras muka air laut maka
fisik lingkungan berubah. Perubahan itu meliputi. - Terjadinya gelombang
ekstrim dan banjir - Intrusi air laut ke sungai dan air tanah - Kenaikan muka
air sungai di muara sungai karena terbendung oleh paras muka air yang naik. -
Perubahan pasang surut dan gelombang - Perubahan pola endapan sedimen.
Subandono, (2007) Menyatakan dari berbagai
perubahan fisik lingkungan tersebut, dampak terparah dialami di wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil. Dampak itu mengancam morfologi pantai, ekosistem
alamiah, pemukiman, sumberdaya air, infrastruktur, perikanan, pertanian, dan
periwisata bahari. Kalau sudah begini, nasib bumi terutama di wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil memang benar-benar diambang kehancuran. Hal ini dapat
dimaklumi karena wilayah pesisir merupakan kawasan pertemuan antara darat dan
laut. Salah satu dampak perubahan iklim yang perlu diwaspadai adalah kenaikan
paras muka air laut. Sebab, fenomena ini berdampak pada kegiatan sosial dan
ekonomi. Besarnya kerugian ekonomi itu bervariasi, tergantung kondisi geografi.
Nicholls
(2004) menghitung jumlah penduduk di berbagai kawasan pesisir yang terkena
banjir (genangan) akibat kenaikan paras muka air laut. Menurutnya, saat ini
sekitar 200 juta orang atau sekitar 4 % populasi dunia bermukim di kawasan
dataran banjir (floodplain). Jika tidak ada kenaikan paras muka air laut,
diperkirakan sekitar 10 juta pertahun terkena banjir (genangan). Jumlah
tersebut kian meningkat dengan bertambahnya penduduk di wilayah pesisir. Daerah
yang rentan terhadap banjir adalah Kepulauan Karibia dan pulau-pulau kecil di
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Sedangkan kawasan yang sangat rentan
adalah selatan Asia, Asia Tenggara, dan Pantai Afrika.
Akibat
kenaikan paras muka air laut setinggi 45 cm saja (skenario tengah IPCC) pada
tahun 2080 yang diskenariokan Nicholls maka 10 juta orang yang bermukim di
Pantai Afrika (barat dan timur Afrika serta selatan Mediterania) punya resiko
terkena banjir. Bahkan di selatan Asia lebih parah lagi. Ia memprediksi, lebih
dari 50 juta orang beresiko terkena banjir tiap tahun.
1.
Kenaikan Muka Air Laut
Terjadinya
kenaikan muka air laut disebabkan oleh peningkatan suhu rata-rata bumi secara
global yang mengakibatkan berkurangnya luas tutupan es di kutub serta akibat
ekspansi termal air laut. IPCC (2007) memperkirakan bahwa abad ke-20 terjadi
kenaikan muka air laut dengan laju sekitar 1,7 mm per tahun. Estuaria, belukar
perairan laut, pantai serta daerah rendah pada daerah pantai merupakan
daerah-daerah yang rentan dengan adanya kenaikan muka air laut.
Intrusi
air laut akan mempengaruhi sungai-sungai serta daerah perairan pantai lainnya.
Laporan Kurnia, et al (2004) salah satu penyebab pencemaran atmosfir adalah
kegiatan industri, pertambangan, pertanian/perkebunan besar, yang tetap berjalan
tanpa hambatan. Terjadinya pemanasan global akibat meningkatnya gas-gas rumah
kaca yang dihasilkan oleh penggunaan bahan bakar fosil terutama oleh industri
dan kendaraan bermotor seperti CO2, CFC, CH4, O3 dan N2O berdampak mencairnya
es dikutub sehingga muka laut makin naik, yang meningkatkan laju intrusi dan
menenggelamkan desa-desa pantai dan meningkatkan abrasi pantai.
Kenaikan muka air laut juga mengancam
kehidupan masyarakat nelayan yang dapat ditemukan pada hampir setiap pulau di
Indonesia. Tidak hanya itu, lima dari enam kota di Indonesia yang berpenduduk
setidaknya satu juta orang berada di daerah pantai, dimana kegiatan
sosio-ekonomi, infrastruktur, serta institusi terkonsentrasi di sepanjang garis
pantai (ADB, 1994). Kenaikan muka air laut ini telah dipantau oleh Bakosurtanal
sejak tahun 1984 dengan menempatkan stasiun pengamatan di beberapa daerah. Dari
pengamatan tahun 1984 hingga 2002. (Sutisna dan Manurung, 2002).
Menurut
Departemen Kelautan dan Perikanan, dalam dua tahun saja (2005-2007) Indonesia
telah kehilangan 24 pulau kecil. Pulau-pulau tersebut antara lain tiga pulau di
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, tiga di Provinsi Sumatera Utara, tiga pulau
di Papua, lima pulau di Kepulauan Riau, dua pulau di Sumatera Barat, satu pulau
di Sulawesi Selatan, dan tujuh pulau di kawasan Kepulauan Seribu (RANPI, 2007).
Meningkatnya erosi pantai juga akan mengancam 12 dari 92 pulau kecil terluar
Indonesia (RANPI, 2007).
Selain
itu, naiknya muka air laut juga akan merusak lahan budidaya perikanan yang
dimiliki oleh masyarakat di kawasan pesisir. Tidak hanya sebatas itu, kenaikan
muka air laut juga dapat berakibat hilangnya lahan milik penduduk serta
kerusakan infrastrukrur yang berada di sekitar daerah pantai seperti yang
pernah diberitakan oleh beberapa media massa. Kesemuanya ini akan memperburuk
kondisi sosial-ekonomi masyarakat.
Air lautan akan menyebar dan berkontribusi
terhadap kenaikan permukaan air laut. Pada pertengahan abad ke-20, penyebaran
panas menyebabkan kenaikan permukaan air laut setinggi 2,5 cm. Berdasarkan
pengukuran yang dilakukan sejak 1993-2003 mengindikasikan laju peningkatan
rata-rata adalah 3,1mm/tahun. (Bindoff et al. , 2007).
Kemudian
menyatakan bahwa penyebab alami kenaikan permukaan laut adalah pelelehan es di
pulau, air tercipta dari cadangan oksigen dan hidrogen di kerak bumi, air dari
dalam ruang, dan ketika daratan runtuh karena penyebaran panas. Ketika gunung
berapi meletus, air dari bawah daratan bumi dikeluarkan dalam bentuk uap dan
mengalir ke samudra.
Kejadian
seperti ini berkontribusi pada kenaikan permukaan laut, walau tidak berpengaruh
banyak. Kenaikan suhu bumi rata-rata menghasilkan peleburan es di seluruh bumi.
Glacier dan lapisan es menutupi 10% permukaan bumi. Pada abad ke-20, banyak es
meleleh dari yang seharusnya. Contoh yang paling terkenal adalah Gunung
Kilimanjoro di Afrika.
Pada abad lalu, es dingin berkurang 80% dan
sepertinya akan menghilang di dekade berikutnya apabila tingkat kehilangan
seperti ini. Efek yang sama terjadi di Alaska, Himalaya, dan Andes. Akibat
pelelehan glasir dan permukaan es terjadi kenaikan permukaan air laut setinggi
2,5 cm pada pertengahan abad ke-20 (Bindoff et al., 2007).
2.
Kenaikan Suhu Air Laut
Kenaikan
suhu rata-rata bumi secara global juga memicu terjadinya peningkatan lelehan
tutupan salju dan es dalam skala global. Menurut IPCC (2007), kontribusi total
lelehan gletser, tutupan es dan lapisan es terhadap naiknya muka air laut
diperkirakan sebesar 1,2 ± 0,4 mm per tahun selama periode 1993 hingga 2003.
Meningkatnya suhu air laut sebesar 0,2 hingga
2,5ºC akan mempengaruhi pertumbuhan dan kecepatan reproduksi organisme yang
hidup di daerah laut tropis. Telah ditemukan pada daerah pantai Jakarta banyak
batu karang yang mati akibat bleaching. Batu karang memegang peranan penting
dalam daur hidup spesies laut dan mempengaruhi habitat laut. Perubahan yang
terjadi pada habitat laut akan mempengaruhi ekosistem pantai sehingga
mempengaruhi ketersediaan ikan-ikan spesies tertentu dan berdampak pada
tangkapan nelayan-nelayan di Indonesia.
Peningkatan
suhu muka air laut diantaranya juga akan mempengaruhi sirkulasi air, memutuskan
rantai makanan, yang pada akhirnya akan mengurangi produktifitas sumber daya
laut. Dari beberapa studi yang telah dilakukan dilaporkan bahwa bisnis pariwisata
di Indonesia juga dapat terpengaruh dengan terjadinya pemanasan global
(Subandono, 2009)
3.
Peningkatan Frekuensi dan Intensitas Badai
Tropis dan Angin Topan
Sejak
pertengahan 1970-an telah terjadi kecenderungan jangka waktu badai yang lebih
lama dengan intensitas yang lebih besar, dimana aktivitas ini sangat
berhubungan dengan suhu permukaan laut tropis (IPCC, 2007). Berbagai temuan
menunjukkan bahwa jumlah angin topan kategori 4 dan 5 telah meningkat sebesar
75% sejak tahun 1970, dengan peningkatan terbesar terjadi di daerah Pasifik
Utara, Samudera India dan Samudera Pasifik Barat Daya.
Selain jumlah angin topan di daerah Atlantik
Utara juga telah berada di atas normal dalam 9 dari 11 tahun terakhir yang
mencapai puncaknya pada tahun 2005 (IPCC, 2007). Indonesia sendiri dalam
beberapa tahun terakhir ini telah terjadi beberapa kali kejadian angin topan
dan badai yang cukup merugikan terutama bagi masyarakat yang tinggal di daerah
pesisir.
4.
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Kesehatan
Pengukuran
dampak perubahan iklim terhadap kesehatan masyarakat tidak mudah, mengingat ada
dampak yang bersifat langsung dan ada yang bersifat tidak langsung. Dampak
langsung dari perubahan iklim adalah akibat banjir dan kekeringan yang terjadi,
sementara akibat tidak langsung bisa terjadi karena perubahan pola penyakit
yang dampaknya baru bisa dilihat dalam beberapa waktu (Ebi dkk, 2006).
Kovats
et. al. (2005) menyatakan bahwa outcome kesehatan yang mungkin terjadi
bervariasi dalam beberapa hal. Pertama, heat stress yaitu penyakit-penyakit
yang disebabkan karena meningkatnya suhu. Salah satunya karena dampak
peningkatan fungsi jantung dan paru-paru tubuh manusia. Kedua, kesakitan dan
kematian akibat polusi udara yang diakibatkan oleh konsentrasi gas polutan,
distribusi dan dinamikanya. Ketiga, penyebaran vektor nyamuk, yaitu penyebaran
yang lebih luas dari vektor tertentu, lebih singkatnya pola hidup vektor
sehingga lebih cepat dalam daur hidupnya. Keempat,
kekurangan
pangan dan akibatakibatnya yang terjadi disebabkan oleh kekeringan dan
bakteri-bakteri pathogen. WHO (2008) juga menyatakan bahwa frekuensi timbulnya
penyakit seperti malaria dan demam berdarah meningkat. Penduduk dengan
kapasitas beradaptasi rendah akan semakin rentan terhadap diare, gizi buruk,
serta berubahnya pola distribusi penyakit-penyakit yang ditularkan melalui
berbagai serangga dan hewan. Pemanasan global juga memicu meningkatnya kasus
penyakit tropis seperti malaria dan demam berdarah. Perubahan cuaca dan lautan
dapat berupa peningkatan temperatur secara global (panas) yang dapat
mengakibatkan munculnya penyakitpenyakit yang berhubungan dengan panas (heat
stroke) dan kematian, terutama pada orang tua, anak-anak dan penyakit kronis
(Kovats et. al. 2005).
Temperatur
yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga akan muncul kelaparan
dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut
akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian
akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya disertai dengan perpindahan
penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit, seperti:
diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit,
dan lain-lain.
Pergeseran
ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne
diseases) maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases).
Nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penyakit ini memiliki pola hidup dan
berkembang biak pada daerah panas. Hal itulah yang menyebabkan penyakit ini
banyak berkembang di daerah perkotaan yang panas dibandingkan dengan daerah
pegunungan yang dingin. Namun dengan terjadinya Global Warming, dimana terjadi
pemanasan secara global, maka daerah pegunungan pun mulai meningkat suhunya
sehingga memberikan ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak
(Anonim, 2010).
Degradasi
Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga
berkontribusi pada waterborne diseases dan vectorborne disease. Ditambah pula
dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik yang tidak terkontrol
selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan
seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan
lain-lain.
5.
Dampak Perubahan Iklim Terhadap Sumber Daya
Air
Laporan IPCC (2007), menyatakan bahwa dengan
proyeksi penambahan jumlah penduduk global dan perubahan iklim, maka lima
milyar penduduk akan mengalami kesulitan air di tahun 2025. Daerah dengan
pasokan air yang berlimpah akan mendapatkan air yang lebih banyak dengan
meningkatnya banjir. Pada pertengahan abad ini, rata-rata aliran air sungai dan
ketersediaan air di daerah subpolar serta daerah tropis basah diperkirakan akan
meningkat sebanyak 10-40%.
Sementara
di daerah subtropis dan daerah tropis yang kering, air akan berkurang sebanyak
10-30% sehingga daerah-daerah yang sekarang sering mengalami kekeringan akan
semakin parah kondisinya. Indonesia akan menghadapi tantangan yang cukup berat
di masa yang akan datang dalam ketersediaan air bersih. Perubahan iklim akan
mengakibatkan berkurangnya curah hujan dan debit sungai, sehingga ketersediaan
air pun akan berkurang.
Ketergantungan terhadap suplai air tawar dari
hujan sangat besar dan terus bertambah seiring dengan bertambahnya penduduk.
Aldrian
(2006) melakukan kajian tentang trend penurunan curah hujan tahunan di Bengkulu
dan Ketapang, Kalimantan dalam 3 dasawarsa terakhir, memberikan gambaran awal
tentang trend penurunan curah hujan tahunan. Ini berarti bahwa keteersediaan
air di daerah Bengkulu dan ketapang terus menurun dari tahun ke tahun.
Berdasarkan hasil penelitian Aldrian (2006), menyatakan bahwa tantangan
ketersediaan air bagi Indonesia, disamping diakibatkan oleh perubahan iklim
juga dipicu oleh beberapa faktor antara lain:
1.
Menurunnya kuantitas dan kualitas sumberdaya air karena kondisi lingkungan yang
semakin rusak.
2.
Meningkatnya trend kebutuhan air dari tahun ke tahun akibat pertambahan
penduduk.
3.
Kerusakan sarana dan prasarana sumberdaya air akibat bencana banjir dan tanah
lonsor.
4.
Bertambahnya daerah aliran sungai (DAS) yang mengalami kerusakan.
Pemanasan
global telah memicu terjadinya sejumlah konsekuensi yang merugikan baik
terhadap lingkungan maupun setiap aspek kehidupan manusia. Beberapa di
antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Mencairnya
lapisan es di kutub Utara dan Selatan. Peristiwa ini mengakibatkan naiknya
permukaan air laut secara global, hal ini dapat mengakibatkan sejumlah
pulau-pulau kecil tenggelam. Kehidupan masyarakat yang hidup di daerah pesisir
terancam. Permukiman penduduk dilanda banjir rob akibat air pasang yang tinggi,
dan ini berakibat kerusakan fasilitas sosial dan ekonomi. Jika ini terjadi
terus menerus maka akibatnya dapat mengancam sendi kehidupan masyarakat.
2.
Meningkatnya
intensitas fenomena cuaca yang ekstrim. Perubahan iklim menyebabkan musim sulit
diprediksi. Petani tidak dapat memprediksi perkiraan musim tanam akibat musim
yang juga tidak menentu. Akibat musim tanam yang sulit diprediksi dan musim
penghujan yang tidak menentu maka musim produksi panen juga demikian. Hal ini
berdampak pada masalah penyediaan pangan bagi penduduk, kelaparan, lapangan
kerja bahkan menimbulkan kriminal akibat tekanan tuntutan hidup.
3.
Punahnya
berbagai jenis fauna. Flora dan fauna memiliki batas toleransi terhadap suhu,
kelembaban, kadar air dan sumber makanan. Kenaikan suhu global menyebabkan
terganggunya siklus air, kelembaban udara dan berdampak pada pertumbuhan
tumbuhan sehingga menghambat laju produktivitas primer. Kondisi ini pun
memberikan pengaruh habitat dan kehidupan fauna.
4.
Habitat
hewan berubah akibat perubahan faktor-faktor suhu, kelembaban dan produktivitas
primer sehingga sejumlah hewan melakukan migrasi untuk menemukan habitat baru
yang sesuai. Migrasi burung akan berubah disebabkan perubahan musim, arah dan kecepatan
angin, arus laut (yang membawa nutrien dan migrasi ikan).
5.
Peningkatan
muka air laut, air pasang dan musim hujan yang tidak menentu menyebabkan
meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir.
6.
Ketinggian
gunung-gunung tinggi berkurang akibat mencairnya es pada puncaknya.
7.
Perubahan
tekanan udara, suhu, kecepatan dan arah angin menyebabkan terjadinya perubahan
arus laut. Hal ini dapat berpegaruh pada migrasi ikan, sehingga memberi dampak
pada hasil perikanan tangkap.
8.
Berubahnya
habitat memungkinkan terjadinya perubahan terhadap resistensi kehidupan larva
dan masa pertumbuhan organisme tertentu, kondisi ini tidak menutup kemungkinan
adanya pertumbuhan dan resistensi organisme penyebab penyakit tropis.
Jenis-jenis larva yang berubah resistensinya terhadap perubahan musim dapat
meningkatkan penyebaran organisme ini lebih luas. Ini menimbulkan wabah
penyakit yang dianggap baru.
9.
Mengancam
kerusakan terumbu karang di kawasan segitiga terumbu karang yang ada di enam
negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Kepulauan Salomon, Papua Nugini, Timor
Leste, dan Philipina. Dikhawatirkan merusak kehidupan masyarakat lokal yang
berada di sekitarnya. Masyarakat lokal yang pertama kali menjadi korban akibat
kerusakan terumbu karang ini. Untuk menyelamatkan kerusakan terumbu karang
akibat pemanasan global ini, maka para aktivis lingkungan dari enam negara
tersebut telah merancang protokol adaptasi penyelamatan terumbu karang. Lebih
dari 50 persen spesies terumbu karang dunia hidup berada di kawasan segitiga
ini. Berdasarkan data Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC),
sebanyak 30 persen terumbu karang dunia telah mati akibat badai el nino pada
1998 lalu. Diprediksi, pada 10 tahun ke depan akan kembali terjadi kerusakan
sebanyak 30 persen.
Meminimalisasi
Dampak Pemanasan Global
1.
Konservasi
lingkungan, dengan melakukan penanaman pohon dan penghijauan di lahan-lahan
kritis. Tumbuhan hijau memiliki peran dalam proses fotosintesis, dalam proses ini tumbuhan
memerlukan karbondioksida dan menghasilkan oksigen. Akumulasi gas-gas karbon di
atmosfer dapat dikurangi.
2.
Menggunakan
energi yang bersumber dari energi alternatif guna mengurangi penggunaan energi
bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara). Emisi gas karbon yang
terakumulasi ke atmosfer banyak dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil.
Kita mengenal bahwa paling banyak mesin-mesin kendaraan dan industri digerakkan
oleh mesin yang menggunakan bahan bakar ini. Karena itu diupayakan sumber
energi lain yang aman dari emisi gas-gas ini, misalnya; menggunakan energi matahari,
air, angin, dan bioenergy. Di daerah
tropis yang kaya akan energi matahari diharapkan muncul teknologi yang mampu
menggunakan energi ini, misalnya dengan mobil tenaga surya, listrik tenaga
surya. Sekarang ini sedang dikembangkan bioenergy, antara lain biji tanaman
jarak (Jathropa. sp) yang menghasilkan minyak.
3.
Daur
ulang dan efisiensi energi. Penggunaan minyak tanah untuk menyalakan kompor di
rumah, menghasilkan asap dan jelaga yang
mengandung karbon. Karena itu sebaiknya diganti dengan gas. Biogas
menjadi hal yang baik dan perlu dikembangkan, misalnya dari sampah
organik.
4.
Upaya
pendidikan kepada masyarakat luas dengan memberikan pemahaman dan penerapan
atas prinsip-prinsip sebagai berikut:
a)Dimensi manusia
Manusia berperan sebagai
pengguna-perusak-pelestari alam. Manusia harus diberi kesadaran akan pentingnya
alam bagi kehidupannya. Alam memiliki keterbatasan dibanding kemampuan manusia
dalam mengeksploatasi alam. Manusia memanfaatkan alam guna memperoleh sumber
makanan dan kebutuhan sosial lainnya, tetapi disadari atau tidak tindakannya
dapat berakibat kerusakan faktor-faktor ekologis. Karena itu manusia harus
menyadari bahwa ia dan perilakunya adalah bagian dari alam dan lingkungan yang
saling mempengaruhi.
b)
Penegakan hukum dan keteladanan
Pelanggaran atas tindakan manusia
yang merusak lingkungan harus mendapat ganjaran. Penegakan hukum lingkungan
menjadi bagian yang penting guna menjaga kelestarian lingkungan, dan memberi
efek jera bagi yang melanggar. Penegakan hukum tidak memandang strata sosial
masyarakat. Selain itu adalah panutan dan ketokohan seseorang memegang peranan
penting. Mereka yang memiliki pemahaman yang lebih baik (berpendidikan)
terhadap lingkungan hidup hendaknya berperan memberi contoh dan sikap
lingkungan yang baik pula kepada masyarakat. Misalnya, kita masih menemukan
kasus peran beberapa aparat pemerintah dibalik kerusakan hutan, baik dengan
memberikan modal maupun perlindungan bagi perambah hutan.
c)
Keterpaduan
Seluruh elemen masyarakat harus
mendukung upaya pelestarian lingkungan dan sumberdaya alam serta penegakan
hukumnya. Upaya ini harus dilakukan secara komprehensif dan lintas sektor.
Misalnya, untuk mengatasi emisi gasgas rumah kaca akibat peningkatan jumlah
kendaraan di Kota Jakarta, harus di atas secara bersama dengan daerah sekitar
seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan Tangerang. Karena pekerja yang menggunakan
kendaraan bermotor setiap hari masuk ke kota Jakarta bermukim di empat kota
tersebut. Demikian halnya mengatasi banjir di Kota Gorontalo, misalnya, tidak
dapat diatasi dengan perbaikan fasilitas lingkungan dan membina kesadaran
penduduk kota, tetapi secara menyeluruh dengan masyarakat di wilayah lain (hulu
dan DAS) yang memberi kontribusi terhadap bencana banjir. Masyarakat dan
pemerintah daerah terdekat seperti Kabupaten Bone Bolango dan Kabupaten
Gorontalo turut bertanggungjawab dalam upaya penanggulangan banjir di Kota
Gorontalo. Secara geografis, terdapat daerah aliran sungai dimana dua sungai
besar yang melewati dan bermuara di kota ini. Karena itu bencana alam dan
kerusakan lingkungan tidak dapat dipilah menurut wilayah administratif semata,
tetapi bersifat area geografis-ekologis.
d)
Mengubah pola pikir dan sikap
Faktor-faktor lingkungan
fisik, mahluk hidup lain dan manusia
memiliki peran masing-masing dalam lingkungan hidup. Manusia sebagai mahluk
yang diberi kemampuan logika harus mampu memandang kepentingan hidupnya terkait
dengan kehidupan mahluk hidup lain beserta kejadian proses-proses alam. Sikap
dan perilaku manusia terhadap alam cepat atau lambat memberi berdampak pada
lingkungan hidupnya. Peduli terhadap lingkungan pada dasarnya merupakan sikap
dan perilaku bawaan manusia. Akan tetapi munculnya ketidak pedulian manusia
adalah pikiran atau persepsi yang berbeda-beda ketika manusia berhadapan dengan
masalah lingkungan. Manusia harus memandang bahwa dirinya adalah bagian dari
unsur ekosistem dan lingkungannya. Naluri untuk mempertahankan hidup akan
memberi motivasi bagi manusia untuk melestarikan ekosistem dan
lingkungannya.
e)
Etika lingkungan
Kecintaan dan kearifan kita
terhadap lingkungan menjadi filosofi kita tentang lingkungan hidup. Apa pun
pemahaman kita tentang lingkungan hidup dan sumber daya, kita harus bersikap
dan berperilaku arif dalam kehidupan. Dalam wujud budaya tradisional, kearifan
lokal melahirkan etika dan norma kehidupan masyarakat dalam memanfaatkan sumber
daya alam dan lingkungannya. Selama masyarakat masih menghormati budaya
tradisional yang memiliki etika dan nilai moral terhadap lingkungan alamnya,
maka konservasi sumber daya alam dan lingkungan menjadi hal yang mutlak. Dalam
kehidupan masyarakat demikian, etika lingkungan tidak tampak secara teoretik
tetapi menjadi pola hidup dan budaya yang dipelihara oleh setiap generasi.
Etika lingkungan akan berdaya guna jika muncul dalam tindakan nyata dalam
kehidupan sehari-hari.
Pulau-pulau tersebut merupakan
pulau-pulau terluar dan memiliki wilayah yang berbatasan langsung dengan negara
tetangga, maka pulau-pulau tersebut memiliki nilai yang sangat strategis,
sekaligus rawan terhadap sengketa kepemilikan di masa mendatang. Keberadaan
pulau-pulau kecil terluar tersebut memiliki spektrum yang luas, bukan hanya
sebatas aspek ekonomis, tetapi juga terkait aspek politis dan aspek pertahanan
dalam rangka menjadi integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Oleh karenanya Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan membangun Indonesia dari Pinggir bisa
diartikan dengan pengelolaan pulau terluar, pasalnya selama ini terjadi
disparitas pembangunan, kesenjangan wilayah dan kesenjangan pendapatan. Beliau
mengatakan permasalahan Pulau-pulau Kecil Terluar (PPKT) sebagai beranda
terdepan sekaligus paling pinggir dari wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) memang sangat kompleks. Selain untuk menegakkan kedaulatan
negara, pengelolaan pulau-pulau kecil terluar secara berkelanjutan menjadi
penting dan strategis untuk menguatkan perekonomian bangsa yang berbasis
kemaritiman.
Daftar Pustaka
ADB. 1994. Climate Change in
Asia: Indonesia Country Report on Socioeconomic Impacts of Climate Change and
National Response Strategy. ADB, Manila.
Aldrian, E. 2006. Decreasing
Trends ain Annual Rainfalls Over Indonesia: A Threat for The National Water
resource. MeteorologidanGeofisika, BMG, 7, No.2,40-49.
Anonimous, 2004. Temperatur
Rata-rata Global 1860 sampai 2000. tersedia dalam http//id.wikipedia.org/wiki.
Pemanasan_Global#search column-one.
Bindoff, NL et al.,
“Observations: Oceanic Climate Change and Sea Level”, Climate Change 2007.
Ebi, K. L, R.S dan Bettina.
2006. An Approach for Assessing Human Healt Vulnerability Intervention to Adapt
to Climate Change. Environ HealtPerspect 114:1930-1934.
IPCC. 2007. Summary for
Policymakers. In: Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution
of Working Group 1 to the Fourth Assesment Report of the Intergovermental Panel
on Climate Change [Solomon, S.,D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K.B.
Averyt, M. Tignor and H.L Miller (eds.)]. Cambridge University Press,
Cambridge, United Kingdom and New York, USA.
Kovats, R.S., Campbell-Lendrum,
D, danFranziska, M. 2005. Climate Change and Human Healt: Estimating Avoidable
Deaths and Disease. Risk Analysis. Vol 25 (6): 1409-1418.
Kurnia, U., J. Sri Adiningsih.,
dan A. Abdurachman. 2004. Strategi Pencegahan dan Penaggulangan Pencemaran
Lingkungan Pertanian. Pros. Seminar Nasional Peningkaan Kualitas Lingkungan dan
ProdukPertanian. IPB, Bogor.
Nicholls R J. 2004. Coastal
flooding and wetland loss in the 21st century: changes under the SRES climate
and socio-economic scenarios. Global Environmental.
RANPI. 2007. Rencana Aksi
Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta.
Subandono, D.2007. Dampak
Pemanasan Global, Pulau-Pulau Kecil Terancam Tenggelam. Opini Suara Pembaharuan
(20/04/2007).
Subandono, D. Budiman, Agung F.
2009. Menyiasati Perubahan Iklim Di Wilayah PesisirdanPulau – Pulau Kecil.Buku
IlmiahPopuler. Bogor.
Sutisna, S. dan Manurung, P.
2002.Pemantauan Perubahan Permukaan Air Laut akibat Global Warming dan
Dampaknya terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
WHO. 2008. Protecting Healt from Climate Change World
Healt Day 208. Geneva :WHO.
Komentar
Posting Komentar